18 Januari 2025

Radar Brita

Seputar Warta

Kenaikan PPN 12 Persen Dinilai Tidak Sejalan dengan Dampaknya pada Ekonomi Masyarakat

Kenaikan PPN 12 Persen Dinilai Tidak Sejalan dengan Dampaknya pada Ekonomi Masyarakat

https://www.merdeka.com

Radar Brita –  Pernyataan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang menyebutkan bahwa kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen tidak akan berdampak signifikan terhadap harga barang dan jasa telah memicu kontroversi. DJP berpendapat bahwa kenaikan PPN hanya akan menyebabkan tambahan harga sebesar 0,9 persen bagi konsumen. Namun, hal ini langsung dibantah oleh sejumlah ekonom, termasuk Media Wahyudi Askar, Direktur Kebijakan Publik Celios. Menurutnya, pernyataan tersebut keliru baik dari sisi statistik maupun ekonomi. Media menjelaskan bahwa estimasi DJP tidak memperhitungkan efek kumulatif yang terjadi di setiap tahap rantai pasok barang dan jasa.

Setiap kali tarif PPN berubah, komponen harga yang membentuk biaya produksi juga akan mengalami perubahan. Akibatnya, harga barang dan jasa yang dijual kepada konsumen bisa jauh lebih tinggi dari yang diperkirakan sebelumnya. Media menegaskan bahwa estimasi 0,9 persen kenaikan harga tersebut tidaklah realistis karena tidak mempertimbangkan proses perubahan harga di setiap tahap. Sebagai contoh, kenaikan tarif PPN pasti akan berdampak pada biaya produksi dan distribusi yang akhirnya mempengaruhi harga jual barang kepada konsumen.

Lebih lanjut, Media menyebutkan bahwa meskipun pemerintah telah menawarkan berbagai paket kebijakan untuk meredam dampak ekonomi akibat kenaikan PPN, beberapa kebijakan tersebut justru tidak baru. Beberapa di antaranya seperti stimulus untuk sektor UMKM dan insentif untuk otomotif sudah diterapkan sebelumnya dan tidak memberikan manfaat signifikan bagi masyarakat bawah. Salah satu contoh adalah pemberian diskon PPN DTP (Ditanggung Pemerintah) untuk pembelian rumah dengan harga jual hingga Rp5 miliar. Diskon 100 persen untuk pembelian rumah dengan harga Rp2 miliar pertama yang berlaku pada 2025, menurut Media, lebih relevan untuk kalangan menengah ke atas yang mampu membeli rumah di kisaran harga tersebut. Kelompok masyarakat miskin, yang daya belinya jauh di bawah itu, justru tidak akan merasakan manfaat dari kebijakan ini.

Kondisi serupa juga berlaku pada insentif pajak lainnya, seperti PPnBM DTP untuk pembelian kendaraan hybrid yang hanya bisa dijangkau oleh kalangan menengah ke atas. Begitu pula dengan kebijakan PPh Final 0,5 persen untuk UMKM yang telah berjalan selama tujuh tahun, yang cenderung hanya menguntungkan usaha yang sudah mapan. Di sisi lain, kelompok UMKM yang lebih kecil dan belum memiliki basis usaha yang kuat tentu tidak akan mendapat manfaat dari insentif ini.

Media juga mengkritik pernyataan DJP yang mengatakan bahwa kenaikan PPN tidak akan berdampak signifikan terhadap inflasi. Dalam sejarahnya, Indonesia pernah menaikkan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen pada April 2022, dan dalam waktu singkat inflasi tahunan melonjak tajam dari 3,47 persen menjadi 4,94 persen hanya dalam tiga bulan. Oleh karena itu, pernyataan DJP tentang dampak inflasi yang tidak signifikan dianggap sangat tidak tepat.

Media Wahyudi Askar menyimpulkan bahwa kenaikan PPN merupakan kebijakan yang bersifat regresif, yang lebih memberatkan masyarakat kelas bawah. Dengan kata lain, kebijakan ini justru menambah beban hidup mereka yang sudah sulit. Dalam hal ini, pemerintah seakan-akan memberikan “obat” lewat paket kebijakan ekonomi untuk menyembuhkan penyakit ekonomi yang mereka sendiri ciptakan. Menurut Media, ini adalah bentuk pengelolaan kebijakan yang bermasalah.