22 November 2024

Radar Brita

Seputar Warta

Kejati NTB Selidiki Dugaan Gratifikasi dalam Pembelian Lahan Sirkuit MXGP Samota

Kejati NTB Selidiki Dugaan Gratifikasi dalam Pembelian Lahan Sirkuit MXGP Samota

https://www.antaranews.com/

Radar Brita – Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat (Kejati NTB) tengah menyelidiki dugaan gratifikasi dalam pembelian lahan seluas 70 hektare di kawasan wisata Samota, yang kini digunakan sebagai lokasi Sirkuit Motocross Grand Prix (MXGP). Mantan Bupati Lombok Timur, M. Ali Bin Dachlan, diperiksa sebagai saksi utama dalam kasus ini, mengingat dirinya merupakan pemilik awal lahan yang dibeli oleh Pemerintah Kabupaten Sumbawa.

Juru Bicara Kejati NTB, Efrien Saputera, dalam pernyataannya di Mataram, Selasa, mengonfirmasi pemeriksaan ini. Menurut Efrien, tim jaksa dari bidang pidana khusus telah memanggil dan meminta keterangan dari M. Ali Bin Dachlan untuk mendalami proses transaksi jual beli lahan tersebut. “Iya, benar. Yang bersangkutan dimintai keterangan atas perannya sebagai pemilik awal lahan,” kata Efrien.

M. Ali Bin Dachlan sendiri usai pemeriksaan di Gedung Kejati NTB menyatakan bahwa dirinya telah memberikan informasi terkait pembelian lahan kepada tim jaksa. Salah satu hal yang disorot dalam pemeriksaan adalah status lahan tersebut, apakah disewa atau dibeli sepenuhnya oleh pemerintah. “Ditanya apakah disewa atau tidak. Saya katakan, tidak disewa. Itu murni penjualan,” ungkap Ali.

Ali mengungkapkan bahwa lahan seluas 70 hektare yang terletak di kawasan Samota, Sumbawa, dijual kepada Pemerintah Kabupaten Sumbawa pada tahun 2023. Kawasan Samota sendiri merupakan akronim dari tiga destinasi wisata utama di Sumbawa, yaitu Teluk Saleh, Pulau Moyo, dan Gunung Tambora. Pembelian ini diklaim oleh Ali telah dilunasi dengan nilai transaksi sebesar Rp53 miliar. “Saya hanya menjual kepada Pemerintah Kabupaten Sumbawa. Pembayarannya sudah lunas,” tegasnya.

M. Ali Bin Dachlan didampingi oleh kuasa hukumnya, Basri Mulyani, selama pemeriksaan berlangsung. Dalam kesempatan tersebut, Ali tidak menyerahkan dokumen resmi, namun hanya menunjukkan data terkait proses jual beli lahan kepada pihak penyidik. Menanggapi adanya dugaan gratifikasi dalam transaksi ini, Ali menyatakan dukungannya terhadap langkah hukum yang diambil kejaksaan. “Kalau ada gratifikasi, harus dibuktikan. Kalau tidak ada, ya memang tidak ada,” ujar Ali.

Ali juga mengungkapkan bahwa harga jual lahan sebesar Rp53 miliar dianggap terlalu rendah jika dibandingkan dengan nilai sebenarnya yang menurutnya bisa mencapai Rp79 miliar. “Pembayaran Rp53 miliar terlalu murah. Seharusnya lahan itu bernilai sekitar Rp79 miliar,” jelas Ali. Pernyataan ini mengisyaratkan potensi adanya penilaian harga yang tidak wajar dalam transaksi tersebut, yang menjadi salah satu fokus penyelidikan kejaksaan.

Proses penyelidikan kasus ini sudah berjalan sejak akhir September 2024, dengan sejumlah pejabat daerah yang telah dimintai keterangan. Di antaranya adalah Muhammad Jalaluddin, pejabat pembuat komitmen (PPK) pengadaan lahan pada Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (PRKP) Sumbawa, serta Agusfian, Kepala Bidang Bina Marga pada Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Sumbawa. Pemeriksaan terhadap pejabat terkait berlangsung di kantor Kejaksaan Negeri Sumbawa, guna mengumpulkan informasi lebih lanjut mengenai mekanisme pengadaan lahan tersebut.

Selain memeriksa Ali Bin Dachlan, Kejati NTB juga meminta keterangan dari kedua ahli waris mantan Bupati Lombok Timur tersebut. Ini dilakukan untuk memastikan tidak ada hak waris yang dilanggar dalam proses penjualan lahan tersebut dan memverifikasi dokumen kepemilikan lahan sebelum transaksi terjadi.

Pembelian lahan seluas 70 hektare di kawasan Samota oleh Pemerintah Kabupaten Sumbawa dilakukan pada tahun 2023 dengan anggaran sebesar Rp53 miliar yang diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Lahan ini digunakan untuk pembangunan Sirkuit MXGP Samota, yang menjadi salah satu fasilitas penunjang ajang balap motocross internasional di Indonesia.

Kejaksaan berharap penyelidikan ini bisa mengungkap fakta terkait dugaan gratifikasi dan memastikan tidak ada pelanggaran hukum dalam proses pembelian lahan tersebut. Langkah ini diambil sebagai bagian dari upaya Kejati NTB untuk mencegah praktik korupsi dan menjaga integritas dalam pengadaan aset pemerintah. Dengan adanya kasus ini, diharapkan proses pengadaan lahan dan aset daerah ke depannya bisa lebih transparan dan sesuai dengan aturan yang berlaku.